Karya Ilmiah
TESIS (4327) - Prinsip Kepentingan Terbaik Bagi Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Orang Tua Sedarah
Tesis ini berjudul “Prinsip Kepentingan Terbaik Bagi Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Orang Tua Sedarah” dengan 2 (dua) rumusan masalah yaitu: (1) Kedudukan Anak Yang Lahir Akibat Pembatalan Perkawinan Orang Tua Sedarah; (2) Perlindungan Hukum Anak Yang Lahir Akibat Pembatalan Perkawinan Orang Tua Sedarah. Penelitian ini adalah jenis penelitian hukum dengan menggunakan metode penelitian pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) yaitu menelaah undang-undang dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang ditangani, dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach) yaitu pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) Kedudukan anak yang lahir dari perkawinan sedarah secara keperdataan meskipun adanya pembatalan perkawinan terhadap kedua orang tuanya tidak mempengaruhi status kedudukan anak yang lahir dalam perkawinan tersebut berubah, hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 28 ayat 2 huruf a yang menyatakan bahwa pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak yang terlahir dalam perkawinan tersebut status kedudukan hukumnya tetap dianggap sebagai anak sah. Namun bila dari segi hukum agama islam sebagian ulama berpendapat bahwa anak yang terlahir dari hasil perkawinan sedarah menurut hukumnya diqiyaskan atau disamakan seperti anak luar kawin, artinya dalam hal ini anak tersebut hanya memiliki hubungan kekeluargaan dengan ibu dan keluarga ibunya saja, dengan argumentasi bahwa perkawinan yang dilakukan oleh kedua orangtuanya itu dianggap batal demi hukum sehingga dianggap tidak pernah terjadi perkawinan antara kedua suami-istri tersebut. (2) Fatwa MUI No.11 Tahun 2012 memberikan perlindungan hukum pada anak hasil perkawinan sedarah yaitu dengan cara menjatuhkan hukuman ta’zir laki-laki yang membenihkan dan menyebabkan kelahirannya selama lelaki tersebut masih hidup. Melalui hukuman ta’zir ini, maka anak dapat menuntut hak nafkah dari laki-laki yang membenihkan dan menyebabkan kelahirannya selama lelaki tersebut masih hidup. Kemudian menjatuhkan hukuman ta’zir berupa penetapan wasiat wajibah pada laki-laki yang membenihkan dan menyebabkan kelahirannya untuk berwasiat memberikan sebagian hartanya setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam hal ini terlihat bahwa MUI mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utamanya.
032024253032 | 4327 Mah p | Ruang Tesis | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain