Karya Ilmiah
SKRIPSI (5613) - Pembatasan Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan Suara pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan Kepala Daerah merupakan kesempatan konstitusional yang teratur bagi
suatu persaingan damai dan jujur untuk memperoleh kekuasaan sebagaimana
diatur pada Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945. Kesuksesan Pilkada tidak hanya
dilihat dari proses pemungutan suara saja, namun juga harus dibarengi dengan
proses penyelesain sengketa Pilkada yang baik. Terkait dengan penyelesain
sengketa Pilkada, sampai saat ini masih terdapat permasalahan pada penyelesaian
sengketa hasil Pilkada. Pada Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang diatur
mengenai syarat permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara
yaitu untuk sengketa hasil Pilkada yang dapat diajukan ke MK, syarat selisih
suara maksimal antara 0,5 persen sampai 2 persen. Disisi lain MK dalam
penyelesaian sengketa hasil Pilkada menerapkan secara mutlak ketentuan Pasal
158. Tidak semua permohon yang mendapat kerugian suara secara signifikan
dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil Pilkada kepada MK.
Dengan demikian, penerapan Pasal 158 akan berpotensi mengabaikan keadilan
dan persamaan dihadapan hukum. Penelitian ini ditulis untuk mengetahui ratio
legis pengaturan Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang dan akibat hukum dari
pengaturan pasal tersebut. Tipe penelitian ini adalah penelitian normatif dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Dari
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ratio legis dari pengaturan Pasal 158 UU
Pilkada adalah mempermudah lembaga yang memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa hasil Pilkada dalam hal ini adalah MK, memperjelas
garis kewenangan konstitusi sebagaimana diatur pada pasal 24C ayat (1) UUD
NRI 1945, membangun budaya hukum dan politik yang dewasa, dan untuk
mengukur signifikansi kerugian suara yang dialami oleh calon kepala daerah.
Pengaturan Pasal 158 UU Pilkada memiliki akibat hukum pertama adanya
diskriminasi, kedua mengurangi jumlah kasus sengketa hasil Pilkada yang
ditangani oleh MK, ketiga terjaminya kepastian hukum pada putusan MK tentang
sengketa hasil Pilkada, keempat berakibat pada terjaminnya keamanan nasional
disebabkan oleh MK dalam menangani sengketa hasil Pilkada menerapkan secara
mutlak Pasal 158 sehingga menghindarkan MK dari penafsiran yang tidak jelas
terhadap pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM).
Kata Kunci : Pemilihan Kepala Daerah, Sengketa Hasil, Mahkamah Konstitusi,
ratio legis
031611133059 | 5613 | Ruang Skripsi | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain