Karya Ilmiah
TESIS (2139) - Pengutan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 92/PUU-X/2012
Isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini adalah Bentuk Penguatan
Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 92/PUU-X/2012 dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan Terkait
Dengan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 92/PUU-X/2012. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan
pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, pendekatan historis dan
pendekatan kasus.
Hasil dari penelitian ini adalah: (1). Gagasan dibentuknya DPD adalah untuk
menciptakan double check/checks and balances dalam lembaga perwakilan, sehingga
struktur parlemen Indonesia terdiri dari DPR dan DPD (bicameral system). Sistem
bicameral yang diharapkan adalah sistem bicameral yang kuat (strong bicameralism)
yang mana secara kelembagaan dan kewenangan yang dimiliki sama-sama kuat untuk
saling mengimbangi dan mengawasi di dalam menjalankan fungsinya. Namun
demikian, hasil perubahan UUD NRI Tahun 1945 membentuk soft bicameral dengan
memberikan fungsi dan kewenangan yang lebih kuat kepada DPR dibandingkan
dengan DPD termasuk fungsi legislasi. Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945
memberikan kewenangan legislasi yang sangat terbatas kepada DPD yakni berupa
dapat mengajukan RUU dan ikut membahas RUU tentang otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memiliki wewenang
untuk memberikan pertimbangan terhadap RUU tentang anggaran pendapatan dan
belanja negara dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Melalui UU No. 27 Tahun 2009 dan UU No. 12 Tahun 2011 kewenangan DPD
semakin direduksi, dimana kewenangan DPD dalam mengajukan RUU disamakan
seperti usulan RUU yang diajukan oleh anggota, komisi atau gabungan komisi di
DPR, sehingga perlu dilakukan harmonisasi, pembulatan dan pemantapan konsep
oleh Badan Legislasi DPR. Setelah itu diajukan kepada rapat paripurna DPR untuk
dimintakan persetujuan. Apabila DPR menyetujui RUU DPD tersebut, maka akan
menjadi RUU DPR. Kewenangan DPD dalam ikut membahas RUU yang sesuai
dengan kewenangannya terbatas sampai pembahasan tingkat I dan tidak berwenang
untuk memberikan persetujuan. Kemudian melalui putusan MK No. 92/PUU-X/2012
terjadi perubahan mengenai kedudukan dan fungsi legislasi DPD. Melalui putusan
tersebut, kedudukan DPD dalam mengajukan RUU yang sesuai dengan
kewenangannya setara dengan RUU dari DPR dan Presiden, sehingga RUU DPD
tidak dipersamakan dengan RUU usulan dari anggota, komisi atau gabungan komisi
DPR. Adapun kewenangan ikut membahas DPD tidak mengalami perubahan terlalu
mendasar, hanya DPD diberikan kewenangan untuk menyampaikan DIM apabila
RUU dari Presiden dan DPR yang terkait dengan kewenangannya. Terkait dengan
kewenangan menyetujui, MK dalam hal ini menyatakan bahwa DPD hanya diberikan
kewenangan untuk ikut membahas RUU yang menjadi kewenangannya, sedangkan
xi
persetujuan menjadi wewenang DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Karenanya, pasca putusan MK, DPD hanya
ikut membahas RUU yang menjadi kewenangannya bersama DPR dan DPD sampai
pada pembahasan Tingkat I atau sebelum tahap persetujuan pada pembahasan
Tingkat II. (2). Sinkronisasi Tatib antar kedua lembaga perwakilan ini baik DPR dan
DPD perlu dilakukan, sebagai konsekuensi adanya putusan Mahkamah Konstitusi,
diperlukannya sinkronisasi/penyesuaian adalah untuk menghindari permasalahan
yang akan muncul dikemudian hari. Misal, jika satu RUU yang berasal dari Presiden
diajukan oleh DPD. Sedangkan menurut DPD, RUU tersebut merupakan bagian dari
kewenangannya untuk ikut membahas. Dalam hal ini, tidak hanya untuk DPD,
putusan MK itu harus disikapi terutama oleh Baleg DPR. Sehingga, Tatib (Tata
Tertib) DPR, menyangkut proses pembuatan RUU, harus berubah sesuai putusan
MK. Untuk merevisi Tatib DPR itu, ketiga lembaga (DPR, DPD, Presiden) harus
terlibat. Dimana tindak lanjut dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini yaitu,
untuk jangka pendek perlu perubahan tatib DPR dan DPD yang mengatur tentang
proses pembentukan undang-undang (bisa tatib bersama); dan untuk jangka panjang
perlu perubahan UU MD3 dan UU P3. Dimana proses pembentukan UU sebaiknya
diatur dalam UU P3 saja.
Penelitian ini merekomendasikan DPR dan DPD dalam hal ini, harus
menindaklanjuti dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini yaitu, untuk jangka
pendek perlu perubahan tatib DPR dan DPD yang mengatur tentang proses
pembentukan undang-undang (bisa tatib bersama); dan untuk jangka panjang perlu
perubahan UU MD3 dan UU P3. walaupun putusan MK telah memberikan harapan
dan meluruskan tafsir Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945 serta memposisikan DPD
setara dengan Presiden dan DPR dalam mengajukan RUU yang terkait dengan
kewenangannya, namun hal tersebut belum menunjukkan terciptanya double check
yang efektif dalam lembaga perwakilan karena DPD belum memiliki wewenang
mandiri untuk membuat keputusan hukum dalam menjalankan fungsi legislasi.
Karenanya, perlu dilakukan amandemen terhadap UUD NRI Tahun 1945 khususnya
Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945, sehingga DPD tidak hanya berwenang untuk ikut
membahas RUU yang menjadi kewenangannya, tapi perlu diberikan juga
kewenangan untuk menyetujui RUU mengenai kewenangannya tersebut.
Kata Kunci : Dewan Perwakilan Daerah, Penguatan Fungsi Legislasi, dan
Mahkamah Konstitusi
031224153072 | 2139 | Ruang Tesis | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain