Karya Ilmiah
TESIS (1465) - Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilukada
Pemilihan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih langsung
oleh rakyat pertama kali dilaksanakan Tahun 2005 dengan mengacu pada
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005.
Sejak saat itu setiap perselisihan terhadap hasil Pemungutan Suara
diajukan, diperiksa, dan diputus oleh Mahkamah Agung untuk Pemilihan
Gubernur, sementara untuk Pemilihan Bupati/Walikota diajukan, diperiksa dan
diputus di Pengadilan Tinggi sesuai wilayah hukumnya, hal ini sesuai dengan
Peraturan Mahkamah Agung Repoblik Indonesia Nomor 02 Tahun 2005 Tentang
Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada
dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi Dan KPUD Kabupaten/Kota
Bahwa dalam perkembangannya sejak terbitnya Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka kewenangan memeriksa dan memutus
perkara Sengketa pemilukada beralih ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara sengketa pemilukada,
banyak kalangan menganggap bahwa Mahkamah Konstitusi telah melenceng
jauh dari apa yang digariskan oleh Peraturan Perundang-Undangan, sehingga
tidak sedikit dari kalangan masyarakat, baik dari Akademisi maupun Praktisi yang
menghendaki agar sebaiknya kewenangan memeriksa, mengadili dan memutus
perkara sengketa Pemilukada dikembalikan kepada Mahkamah Agung.
Bahwa anggapan tentang putusan-putusan Mahkamah konstitusi yang
telah memutus perkara sengketa Pemilukada diluar dari penghitungan suara perlu
dikaji lebih mendalam, apakah memang benar Mahkamah Konstitusi tidak
berwenang memutus perkara Pemilukada diluar dari Penghitungan Suara, ataukah
pada dasarnya Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara diluar dari penghitungan suara.
Meskipun dalam kenyataannya bahwa sejak dialihkannya pemeriksaan
sengketa Pemilukada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, telah
semakin memperpanjang proses penetapan dan pelantikan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah, namun diasatu sisi, bahwa proses demokrasi yang terjadi
dalam pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah telah mengarah
keproses yang lebih baiki, paling tidak telah membuat calon Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah untuk berhati-hati dan sedapat mungkin tidak melakukan
pelanggaran yang bersifat tersruktur, sistematis dan masiv, sebagaimana dasar
pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara sengketa
Pemilukada.
030943094 | 1465 | Ruang Tesis | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Digudangkan |
Tidak tersedia versi lain