Karya Ilmiah
TESIS (1246) - Penggunaan Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Landasan pelaksanaan hak angket dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 dan Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak angket yang terdapat
di dalamnya saling bertentangan sehingga sering terjadi ketidakkonsistenan dalam
penerapannya. Tata cara pelaksanaan hak angket juga diatur dalam Peraturan Tata
Tertib DPR RI, namun sanksi terhadap anggota DPR apabila bertindak di luar
ketentuan tidak terdapat di dalamnya. Ketidakkonsistenan dalam pelaksanaan
terhadap hak angket mencerminkan ketidakjelasan sistem ketatanegaraan dalam
mengatur hal tersebut. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji mengenai
legalitas hak angket dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sehingga dapat
diperoleh argumentasi hukum baru yang berkaitan dengan implikasi
penggunaanya. Penelitian ini merupakan tipe penelitian hukum normatif. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian ini berupaya untuk menemukan
aturan hukum dan teori hukum tentang penggunaan hak angket dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Pendekatan yang dipakai adalah peraturan perundang-
undangan, perbandingan, dan konseptual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1954 tidak relevan lagi digunakan karena dalam pandangan positivisme peraturan
perundang-undangan tersebut sudah kehilangan dasar validitas dan tidak sesuai
dengan sistem ketatanegaraan dalam UUD 1945 pasca-amandemen. Tidak
diaturnya sanksi DPR apabila bertindak di luar ketentuan Peraturan Tata Tertib
DPR RI berkaitan dengan pelaksanaan hak angket seolah-olah menjadikan DPR
sebagai lembaga independen dalam menjalankan pengawasan terhadap
pemerintah. Penggunaan hak angket dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dapat
berimplikasi terhadap impeachment sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan Pasal
7B UUD NRI 1945, tetapi tidak dalam kultur bahwa setiap saat parlemen dapat
mengeluarkan mosi tidak percaya seperti halnya di Inggris. Dalam sistem baru
pasca amandemen (sistem presidensiil), pertanggungjawaban presiden adalah
langsung pada rakyat sehingga Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya hanya karena alasan-alasan politis. Pada
kenyataannya, MPR dapat memutuskan diberhentikan atau tidaknya Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam rapat paripurna dengan dihadiri 3/4 dari jumlah
anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang
hadir meskipun MK sudah memutuskan terbukti adanya pelanggaran hukum
sehingga proses tersebut tidak hanya berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan tetapi juga didasarkan atas adanya unsur politik.
Kata kunci: Hak Angket, Sistem dan Ketatanegaraan.
030810639 | 1246 | Ruang Tesis | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Digudangkan |
Tidak tersedia versi lain